Tips Hadapi Remaja dengan Kepribadian Emosional

www.sehatfresh.com

SehatFresh.com – Anak-anak yang tumbuh menjadi remaja tak hanya mengalami pertumbuhan fisik, tapi juga psikologi. Artinya, secara fisik mereka tampak seperti orang dewasa. Tapi, sesungguhnya mereka belum mampu memahami konsekuensi dari setiap tindakan yang diambilnya.

Seorang anak yang melalui fase ini cenderung mengalami kelabilan emosi. Tidak sedikit pula mereka yang memiliki kepribadian emosional. Tentu, mereka sudah tidak lagi bisa didiamkan dengan permen ataupun mainan kan?

“Secara psikologis, remaja adalah sosok yang sangat emosional dan sensitif. Mereka akan sangat sensitif terhadap berbagai masalah terutama masalah harga diri,” jelas psikolog Roslina.

Peneliti Belanda melakukan studi selama lima tahun di 474 sekolah tinggi menengah untuk melihat kestabilan emosi dan perkembangan remaja dari usia 13 hingga 18 tahun. Dilansir dari realsimple, saat usia 12 tahun, 40% anak-anak cenderung berperilaku agresif. Mereka menuliskan segala jenis emosi mereka pada akun jejaring sosial, baik saat marah, bahagia, cemas dan hal tersebut terjadi berturut-turut.

Kemudian, peneliti mulai menemukan suasana hati yang mulai naik-turun hingga suasana hati berangsur mulai stabil. Selanjutnya, banyak dari remaja mulai bernegosiasi dengan jam malam dan mulai memantau perasaan mereka sendiri. Mereka mulai introspeksi. Namun satu hal yang nampaknya tidak berpengaruh, yaitu tingkat kecemasan.

Kecemasan akan terus berfluktuasi, naik, dan kemudian turun, berkali-kali silih berganti. Lalu, adakah tips untuk menghadapi remaja yang begitu emosional?

Yang sering tidak disadari, terbentuknya karakter anak terkadang dipengaruhi orangtua sendiri. Bisa dibilang, tips pertama dan utama menghadapi remaja yang emosional adalah memberinya contoh.

“Contoh langsung dari bagaimana orangtua mengekspresikan emosi dan bagaimana orangtua menyelesaikan konflik dengan orang lain juga akan dipelajari anak,” tutur psikolog Vera Itabiliana.

Ketika orangtua sering merespons sesuatu dengan marah, anak akan meniru. Reaksi orang tua terekam dalam otak anak sehingga anak menganggap marah adalah reaksi yang wajar ketika emosinya tersulut.

Ketidakstabilan emosi pada anak remaja bisa diminimalkan jika orangtua membekali anak dengan kemampuan mengelola emosi sejak dini. Caranya ialah menerapkan pola asuh yang memberi kesempatan kepada anak untuk mengenali, memahami, mengendalikan, dan mengekspresikan emosi dengan tepat.

“Ada sebagian orangtua yang cenderung mematikan emosi anak daripada membantu anak mengenali dan mengatasi emosinya. Misalnya, saat anak marah dan menangis, orangtua hanya mengatakan, ‘Sudah, jangan menangis!’ Orangtua tidak membantu anak memahami emosinya—mengapa dia kesal atau sedih—dan tidak membantu anak mengetahui yang harus dilakukan jika merasa kesal, marah atau sedih,” papar Vera.

Jadi, ketika anak menangis, tanyakan, apa yang membuatnya menangis? Setelah mengetahui penyebabnya, maka tawarkan pula solusinya. (SBA)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here