SehatFresh.com – Sebagian remaja di era sekarang lekat dengan penggunaan telpon pintar (smartphone). Memang, penggunaan smartphone dapat meningkatkan konektivitas dan komunikasi manusia. Sayangnya, penggunaannya bisa menimbulkan ekses negatif, seperti depresi. Benarkah demikian?
Sudah banyak kasus remaja depresi. Seorang remaja, misalnya, bisa saja tiba-tiba perilakunya berubah drastis. Dulu ia dikenal sebagai anak yang periang dan sering berkumpul dengan teman-temannya, kini bak kehilangan gairah hidup karena lebih sering mendekam di kamarnya. Bisa jadi, remaja tersebut dirundung depresi.
Depresi adalah sebuah penyakit mental yang ditandai oleh sedih berkepanjangan dan terus-menerus. Depresi bisa terjadi akibat perubahan kimia otak yang terpelatuk oleh sebuah peristiwa tertentu entah itu kematian seseorang, penerimaan lingkungan ataupun karena gangguan kepribadian tertentu, seperti bipolar.
Remaja zaman sekarang banyak dikelilingi faktor pemicu depresi. Tuntutan berprestasi di sekolah atau dalam klub olahraga, PR bertumpuk serta tekanan lingkungan adalah beberapa contohnya. Depresi melemahkan hampir semua sistem biologi dalam tubuh. Kortisol dalam tubuh diproduksi terus hingga anak mudah mengalami perubahan emosi secara dramatis.
Pada hari ini, ketika komunikasi dan informasi berkembang pesat, makin banyak rentang usia yang menggunakan ponsel pintar. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sebagian remaja menghabiskan waktu selama 6 jam lebih untuk menatap layar smartphone. Namun, data ini diiringi data lainnya bahwa remaja dan dewasa muda berusia 12-24 tahun rentan mengalami depresi yang berujung pada bunuh diri.
American Psychological Association (APA) telah melakukan sebuah studi epidemiologi skala global terkait depresi remaja dan menemukan bahwa populasi remaja yang mengalami depresi adalah sekitar 11%. Namun, efeknya tidak bisa dibilang ringan karena 75% penderita depresi saat remaja berpotensi melakukan bunuh diri di usia dewasa. Maka, kerentanan depresi yang terjadi pada anak muda harus dipandang secara holistik (bio-psiko-sosial).
Remaja yang lekat dengan penggunaan aplikasi dan ponsel pintar kerap mendapat streotip generasi yang lemah karena tidak mengalami masa-masa seperti perang dunia, perang dingin atau masa konflik. Tanpa memahami masalah personal dan sosial remaja, orang luar, khususnya orangtua, sering kali menuding ponsel pintar, gadget favorit remaja, menjadi penyebab depresi dan gangguan sosial lainnya.
Well, seperti yang telah dijabarkan di atas, depresi harus dianalisis secara holistik. Penelitian-penelitian yang mengkaji teknologi dan masalah kesehatan mental belum menemukan jawaban yang konklusif. Kebanyakan studi justru menemukan hubungan positif antara penggunaan teknologi dan masalah kesehatan mental. Beberapa tidak menemukan data yang signifikan.
Memang, remaja yang memiliki kecanduan smartphone memiliki tingkat kecemasan, depresi dan gangguan tidur yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang bukan pecandu smartphone. Meski begitu, penggunaan smartphone bukanlah variabel tunggal yang menjadi penyebab hal-hal tersebut terjadi. (SBA)